Selasa, 15 April 2008

TEMAN - TEMPAT BERBAGI - SEBAGAI GURU-SEBAGAI PEMBELA

Memilih Teman Seperjuangan

Perjalanan panjang jihad dan perjuangan menegakkan kalimah Allah di muka bumi, menuntut komitmen, kesungguhan, kerja keras, dan semangat yang tak kunjung padam. Untuk memelihara semangat dalam jangka yang panjang, bukan persoalan sederhana. Hanya orang-orang yang benar-benar sabar, tulus, dan ikhlas saja yang bisa membawa semangatnya hingga dalam waktu yang sangat panjang. Adapun orang-orang yang dalam dirinya masih dikuasai oleh interest, kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya, maka orang-orang seperti ini akan mudah putus di tengah jalan.


Demikian pula halnya dengan mereka yang melandasi perjuangannya tidak semata-mata lillahi ta’ala. Di balik perjuangannya masih tersimpan berbagai tujuan, motivasi, dan harapan-harapan lain, selain ridha Allah semata. Orang-orang seperti ini akan mudah tergoda, goyah pendiriannya, dan pada akhirnya akan tumbang di tengah badai dan arus kehidupan materiil yang sedang berkuasa.

Selain mengikhlaskan diri semata-mata karena Allah dalam setiap langkah dan gerak perjuangan, hal penting untuk menjaga semangat tak kunjung padam adalah dengan memilih teman. Dalam perjuangan, memilih teman sangat mutlak dilakukan. Jangan berteman dengan sembarang orang.

Setiap pejuang pasti akan mengalami masa-masa kritis, baik secara moril maupun materiil. Pada saat-saat seperti itu peran teman sangat penting. Jika teman yang menyertainya adalah orang-orang yang lemah, maka dengan sendirinya moral sang pejuang akan jatuh, larut dalam kesedihan, ketakutan, dan kekhawatiran yang tidak semestinya. Nasihat teman pada saat-saat kritis seperti itu sangat menetukan.

Itulah sebabnya Rasulullah berpesan kepada ummatnya:Seseorang itu akan (ikut berada) pada agama temannya. Oleh karena itu, hendaklah salah seorang di antara kamu memperhatikan siapa temannya itu. (HR Tirmidzi)

Sungguh sangat beruntung orang yang memiliki teman yang baik. Ketika kita sedang menghadapi masa-masa kritis, maka sang teman datang memberi hiburan, memberi semangat, spirit, dan menumbuhkan harapan-harapan. Teman baik itu akan mengajak kita untuk tetap bersabar terhadap segala yang menimpa kita. Bukankah Allah selalu menguji hamba-hamba-Nya yang berjihad di jalan-Nya?

Pada saat lapang, teman baik itu juga tetap menyemangati kita untuk tetap waspada, hati-hati menghadapi segala pesona dunia. Teman baik itu akan selalu mengingatkan tentang kehidupan sederhana, peduli pada nasib sesama, dan mengingatkan pula tentang berbagai kewajiban yang harus kita tunaikan sebagai hamba-Nya. Teman yang baik pastilah menjadi patner yang cocok dalam rangka saling berwasiat tentang kebenaran, tentang kesabaran, dan saling berwasiat tentang kasih sayang.

Rasulullah bersabda:Perumpamaan teman yang shalih dengan teman yang buruk itu bagaikan pembawa minyak kesturi dengan peniup api. Pembawa minyak kesturi, baik dia memberimu, atau engkau membeli darinya, engkau akan mendapatkan bau yang harum darinya. Sedangkan peniup api, baik ia akan membakar pakaianmu ataukah engkau akan mendapatkan bau yang busuk darinya. (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Sebelum kita menyesal nanti di akhirat akibat kesalahan kita memilih teman semasa hidup di dunia, maka sejak sekarang kita harus bersungguh-sungguh memilih orang yang bisa kita jadikan teman baik. Jangan sembarang orang, tapi pilih dan saringlah mereka.

Teman yang baik adalah mereka yang bisa mengingatkan kesalahan kita, bukan orang yang hanya bisa memuji dan menyanjung. Teman yang baik adalah teman yang bisa bersama kita pada saat-saat kita menghadapi masa kritis. Mereka masih tetap bersama kita, di kala semua orang meninggalkan kita. Rasulullah saw sendiri selalu memilih-milih teman. Dan adalah Abu Bakar yang akhirnya dipilih menjadi teman sejatinya, termasuk pada saat-saat kritis ketika akan berhijrah ke Madinah.

Abu Bakarlah yang dijaka masuk ke gua Tsur untuk bersembunyi menghindari kejaran musuh. Abu Bakarlah yang akhirnya disebut Ash-Shiddiq, karena ia selalu membenarkan apa saja yang disampaikan Nabi.

Alangkah indahnya persahabatan antara Nabi dan Abu Bakar. Ibaratnya, orang baik berteman dengan orang baik, maka semuanya akan menjadi kebaikan. Sebaliknya, orang jelek berteman dengan orang jahat, maka dapat dipastikan akan melahirkan berbagai tindak kejahatan. Demikian pula orang baik bila berteman orang yang jahat, maka dikhawatirkan kebaikannya akan menjadi berkurang, dan pelan-pelan akan digantikan kejelekan.

Untuk itu, sekali lagi, hindari teman buruk. Sebelum menyesal di hari kemudian, kita tentukan sekarang kepada siapa kita berteman.

Allah berfirman:Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang zhalim menggigit dua tangannya seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab (-ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Quran ketika Al-Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syetan itu tidak mau menolong manusia. (QS Al-Furqaan: 27 – 29)*

Selektif Memilih Teman


Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan darigolongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui. Allah telah menyediakan bagi mereka adzab yang keras. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al Mujaadilah [58]: 14-15).
Berhati-hatilah memilih teman. Sebab, baik buruknya seseorang sangatdipengaruhi baik buruk teman sepergaulannya. Siapa yang berteman dengan pandai besi, maka ia akan bau bakaran. Siapa bergaul dengan tukang minyak wangi, maka ia akan terbawa harum. Kualitas hidup seseorang terlihat dari kualitaspergaulannya.
Karena itu, Allah SWT memerintahkan kita untuk selektif memilih teman. Jangan sampai kita berteman dengan setan. Sebab, barangsiapa yang mengambil setan menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya (QS An Nisaa' [4]: 38). Maknanya, seseorang bisa tergelincir berteman dengan setan dalam arti sesungguhnya. Dengan sadar ia menjadikan setan sebagai pelindung, penolong, pendamping, serta pemberi kekuatan, sehingga dipandang hebat oleh orang lain.
Berbeda jika berteman dengan orang-orang yang mengenal Allah. Pembicaraan Berteman dengan setan bisa pula dalam bentuk lain, yaitu bergaul dengan orang-orang yang gemar memperturutkan hawa nafsu, rajin bermaksiat, serta lalai dari mengingat Allah. Akibatnya, mereka sangat jauh dari pertolongan Allah. Ketidakhati-hatian memilih teman, akan berakibat fatal. Menurut Rasulullah SAW, orang itu akan mengikuti perilaku teman karibnya. Teman yang buruk adalah “virus keempat” yang bisa merusakkan hati dan menghancurkan masa depan setelah lalai menjaga pandangan, lisan, dan perut. Ketika seseorang berteman dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah, hampir dapat dipastikan cita-cita, pembicaran, gerak-gerik serta dan hobinya, tidak jauh dari urusan duniawi dan memuaskan nafsu belaka. terkait dunia tidak akan mengotori hatinya. Berteman dengan orang yang mengenal Allah akan melahirkan tawaashau bil haqqi wa tawaashau bish shabr. Mereka akan membantu kita jadi lebih baik, lebih mulia di sisi Allah. Bahkan, setiap kesulitan akan menambah keakraban dan melipatgandakan kesabaran. Pergaulan yang dilandasi rasa cinta kepada Allah akan tampak indah dan sinergis.

Sekali lagi, berhati-hatilah memilih teman. Jika saat ini kita berada dalam lingkungan yang buruk, maka berjuanglah untuk segera hijrah. Bukan untuk meninggalkan segala-galanya, melainkan agar kita memiliki lingkungan yang menambah energi baru untuk menghadapi hidup dengan lebih baik. Sehingga, ketika bertemu orang-orang yang lalai, kita tidak terbawa lalai, melainkan membantu mereka menjadi lebih baik. Salah memilih pergaulan berarti kita siap menyiksa dan membinasakan diri. Bergaul dengan orang taat dan berakhlak mulia, insya Allah akan membawa kita menjadi orang taat dan berakhlak mulia pula. Semoga Allah Azza wa Jalla menitipkan sahabat-sahabat dan lingkungan yang dapat meningkatkan kualitas iman dan amal kita. Amin.

LIHATLAH, SIAPA TEMANMU...! Wanita adalah bagian dari kehidupan manusia, sehingga dia tak akan pernah lepas dari pola interaksi dengan sesama. Terlebih dominasi perasaan yang melekat pada dirinya, membuat dia butuh teman tempat mengadu, tempat bertukar pikiran dan bermusyawarah. Berbagai problem hidup yang dialami menjadikan dia berfikir bahwa, meminta pendapat, saran dan nasehat teman adalah suatu hal yang perlu. Maka teman sangat vital bagi kehidupannya, siapa sih yang tidak butuh teman dalam hidup ini..?.
"Apabila engkau berada di tengah-tengah suatu kaum maka pililhlah orang-orang yang balk sebagai sahabat, dan janganlah engkau bersahabat dengan orang-orang jahat sehingga engkau akan binasa bersamanya"

Wanita adalah bagian dari kehidupan manusia, sehingga dia tak akan pernah lepas dari pola interaksi dengan sesama. Terlebih dominasi perasaan yang melekat pada dirinya, membuat dia butuh teman tempat mengadu, tempat bertukar pikiran dan bermusyawarah. Berbagai problem hidup yang dialami menjadikan dia berfikir bahwa, meminta pendapat, saran dan nasehat teman adalah suatu hal yang perlu. Maka teman sangat vital bagi kehidupannya, siapa sih yang tidak butuh teman dalam hidup ini..?.

Namun wanita muslimah adalah wanita yang dipupuk dengan keimanan dan dididik dengan pola interaksi Islami. Maka pandangan Islam dalam memilih teman adalah barometernya, karena dirinya sadar, teman yang baik (shalihah) memiliki pengaruh besar dalam menjaga keistiqomahan agamanya. Selain itu teman shalihah adalah sebenar-benar teman yang akan membawa mashlahat dan manfaat. Maka dalam pergaulannya dia akan memilih teman yang baik dan shalihah, yang benar-benar memberikan kecintaan yang tulus, selalu memberi nasihat, tidak curang dan menunjukan kebaikan. Karena bergaul dengan wanita-wanita shalihah dan menjadikannya sebagai teman selalu mendatangkan manfaat dan pahala yang besar, juga akan membuka hati untuk menerima kebenaran. maka kebanyakan teman akan jadi teladan bagi temannya yang lain dalam akhlak dan tingkah lake. Seperti ungkapan "Janganlah kau tanyakan seseorang pada orangnya, tapi tanyakan pada temannya. karena setiap orang mengikuti temannya".

Bertolak dari sinilah maka wanita muslimah senantiasa dituntut untuk dapat memilih teman, juga lingkungan pergaulan yang tak akan menambah dirinya melainkan ketakwaan dan keluhuran jiwa. Sesungguhnya Rasulullah juga telah menganjurkan untuk memilih teman yang baik (shalihah) dan berhati-hati dari teman yang jelek.

Hal ini telah dimisalkan oleh Rasulullah melalui ungkapannya: "Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik (shalihah) dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau menibeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma harmznya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap". (Riwayat Bukhari, kitab Buyuu', Fathul Bari 4/323 dan Muslim kitab Albir 4/2026)1

Dari petunjuk agamanya, wanita muslimah akan mengetahui bahwa teman itu ada dua macam. Pertama, teman yang shalihah, dia laksana pembawa minyak wangi yang menyebarkan aroma harum dan wewangian. Kedua teman yang jelek laksana peniup api pandai besi, orang yang disisinya akan terkena asap, percikan api atau sesak nafas, karena bau yang tak enak.

Maka alangkah bagusnya nasehat Bakr bin Abdullah Abu Zaid, ketika baliau berkata," Hati-¬hatilah dari teman yang jelek ...!, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru, dan manusia seperti serombongan burung yang mereka diberi naluri untuk meniru dengan yang lainnya. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang yang seperti itu, karena dia akan celaka, hati- hatilah karena usaha preventif lebih mudah dari pada mengobati ".

Maka pandai-pandailah dalam memilih teman, carilah orang yang bisa membantumu untuk mencapai apa yang engkau cari . Dan bisa mendekatkan diri pada Rabbmu, bisa memberikan saran dan petunjuk untuk mencapai tujuan muliamu.
Maka perhatikanlah dengan detail teman-¬temanmu itu, karena teman ada bermacam-macam
• ada teman yang bisa memberikan manfaat
• ada teman yang bisa memberikan kesenangan (kelezatan)
• dan ada yang bisa memberikan keutamaan. Adapun dua jenis yang pertama itu rapuh dan mudah terputus karena terputus sebab-sebabnya.

Adapun jenis ketiga, maka itulah yang dimaksud persahabatan sejati. Adanya interaksi timbal balik karena kokohnya keutamaan masing-masing keduanya. Namun jenis ini pula yang sulit dicari. (Hilyah Tholabul 'ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaid halarnan 47-48)

Memang tidak akan pernah lepas dari benak hati wanita muslimah yang benar-benar sadar pada saat memilih teman, bahwa manusia itu seperti barang tambang, ada kualitasnya bagus dan ada yang jelek. Demikian halnya manusia, seperti dijelaskan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam :

" Manusia itu adalah barang tambang seperti emas dan perak, yang paling baik diantara mereka pada zaman jahiliyyah adalah yang paling baik pada zaman Islam jika mereka mengerti. Dan ruh-ruh itu seperti pasukan tentara yang dikerahkan, yang saling kenal akan akrab dan yang tidak dikenal akan dijauhi " (Riwayat Muslim)

Wanita muslimah yang jujur hanya akan sejalan dengan wanita-wanita shalihah, bertakwa dan berakhlak mulia, sehingga tidak dengan setiap orang dan sembarang orang dia berteman, tetapi dia memilih dan melihat siapa temannya. Walaupun memang, jika kita mencari atau memilih teman yang benar-benar bersih sama sekali dari aib, tentu kita tidak akan mendapatkannya. Namun, seandainya kebaikannya itu lebih banyak daripada sifat jeleknya, itu sudah mencukupi.

Maka Syaikh Ahmad bin 'Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi atau terkenal dengan nama Ibnu Qudamah AlMaqdisi memberikan nasehatnya juga dalam memilih teman: "Ketahuilah, bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria¬-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat-sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu. Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat-lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita.

Ada pula orang yang berteman karena kepentingan Dien (agama), dalarn hal inipun ada yang karena ingin mengambil faidah dari ilmu dan amalnya, karena kemuliaannya atau karena mengharap pertolongan dalam berbagai kepentingannya. Tapi, kesimpulan dari semua itu orang yang diharapkan jadi teman hendaklah memenuhi lima kriteria berikut; Dia cerdas (berakal), berakhlak baik, tidak fasiq, bukan ahli bid'ah dan tidak rakus dunia. Mengapa harus demikian ?, karena kecerdasan adalah sebagai modal utama, tak ada kabaikan jika berteman dengan orang dungu, karena terkadang ia ingin menolongmu tapi malah mencelakakanmu. Adapun orang yang berakhlak baik, itu harus. Karena terkadang orang yang cerdaspun kalau sedang marah atau dikuasai emosi, dia akan menuruti hawa nafsunya. Maka tak baik pula berteman dengan orang cerdas tetapi tidak berahlak. Sedangkan orang fasiq, dia tidak punya rasa takut kepada Allah. Dan barang siapa tidak takut pada Allah, maka kamu tidak akan aman dari tipu daya dan kedengkiannya, Dia juga tidak dapat dipercaya. Kalau ahli bid'ah jika kita bergaul dengannya dikhawatirkan kita akan terpengaruh dengan jeleknya kebid'ahannya itu. (Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah hal 99).

Maka wanita muslimah yang benar-benar sadar dan mendapat pancaran sinar agama, tidak akan merasa terhina akibat bergaul dengan wanita-wanita shalihah meskipun secara lahiriyah, status sosial clan tingkat materinya tidak setingkat. Yang menjadi patokan adalah substansi kepribadiannya dan bukan penampilan dan kekayaan atau lainnya. "Pergaulan anda dengan orang mulia menjadikan anda termasuk golongan mereka, karenanya janganlah engkau mau bersahabat dengan selain mereka".

Oleh karena itu datang petunjuk Al Qur'an yang menyerukan hal itu : "Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang¬-orang yang menyeru Rabbnya dipagi dan disenja hari dengan mengharap keridhoan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas" (Al-Kahfi:28)

Footnote: 1.Al Bid'ah, Dr. Ali bin M. Nashir

Maraji :
• Hilyah tolabul 'ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaed
• Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah
• Bid'ah dhowabituha wa atsaruhas Sayyisil Ummah, Dr. Ali Muhammad Nashir AlFaqih
• Sahsiyah Mar'ah, Dr M.Ali Al Hasyimi

Dikutip dari Buletin Dakwah Al-Atsari, Cileungsi Edisi X Sha’ban 1419

http://darussalaf.or.id

Pintar Pilih Teman Gaul
Penulis : Solihin

KotaSantri.com : Berteman memang asyik. Bisa curhat, bisa mengenal karakter, bisa dapet pengalaman dan wawasan, juga bisa tukar pikiran. Namun jangan salah lho, nggak semua orang bisa kita jadikan teman. Apalagi teman baik. Kenapa? Karena nggak semua orang bisa ngajak kepada kebaikan. Jadi, kudu selektif dan juga hati-hati memilih teman. Jangan korbankan dirimu demi sebuah pertemanan, jika akhirnya kamu kudu membayar mahal dengan hancurnya masa depan kamu. Kagak pake dah!

Kamu masih ingat kan kasus tewasnya 10 remaja pada konser musik underground di Bandung, Februari 2008 lalu? Nah, yang kita soroti itu adalah komunitas gaulnya. Tentu aja, sebab manusia itu biasanya akan nyari teman yang konsep dirinya sama, idealismenya sama. Supaya apa? Supaya komunikasinya nyambung. Emang sih, nggak bisa dipukul rata bahwa komunitas gaul kayak gitu bikin rese. Tapi umumnya kan emang gitu. Tul nggak? Jadi, di sini yang terpenting dan yang utama untuk diperhatikan adalah selektif memilih teman gaul, supaya nggak salah gaul. Setuju kan?

Boys and gals, meski kita selektif memilih teman, bukan berarti kita pengen eksklusif. Nggak. Berbeda boleh aja, tapi jangan sampe membedakan diri dengan yang lain. Sekadar "say-hello" dengan teman sekelas yang kebetulan rada-rada amburadul sah-sah aja. Apalagi bila kita mampu ngajakin mereka ngaji. Tentunya lebih oke tuh. Cuma, emang nggak semua dari kita juga bisa dengan sukses ngajak ngaji teman model begitu. Minimal banget, jaga hubungan baik aja deh. Tul nggak seh?

Waktu saya sekolah dulu, ada juga teman model begitu. Tapi, alhamdulillah saya masih bisa berteman, tapi nggak kebawa ancur. Lagian, tergantung kitanya sih. Kalo kita keukeuh dalam mempertahankan prinsip kita, teman kita yang model begitu juga menghargai kok. Jangan khawatir. Malah kalo kitanya tipe plin-plan suka diledekin dan mereka nggak percaya lagi. Rugi kan? Jadi, berteman boleh dengan siapa aja, asal kita pegang prinsip dan bila perlu jelasin deh sejelas-jelasnya ama mereka tentang siapa kita dan prinsip hidup kita. Jangan takut dan jangan ragu. Yakin itu.

Sobat muda muslim, teori komunikasi menunjukkan bahwa kita akan cenderung berkumpul dan berkelompok dengan mereka yang seragam dengan kita dalam beberapa hal, atau mungkin dalam semua hal. Anak-anak komplek dekat rumah saya, mereka nge-geng dengan kelompoknya dari anak-anak yang tinggal di komplek pula. Mereka bagai air dengan minyak kalo ama anak-anak kampung di seberang komplek. Nggak bisa nyatu. Begitu pula anak kampung dekat komplek, ya mainnya sama geng mereka yang dari kampung itu lagi. Geng ini, sangat boleh jadi udah terpola dengan pertimbangan status. Seperti mereka udah sadar diri dan akhirnya menjaga jarak dan membatasi teman gaul.

Waktu saya sekolah dulu, ada juga anak-anak yang dari kalangan kelas atas, lebih banyak main sama anak-anak kelas atas juga. Waktu di SMP, banyak juga teman yang begitu. Anak borju gaulnya ama yang borju lagi. Kalo ada anak kere yang kebetulan pengen gabung, paling nggak do'i kudu bisa nyetel dengan aturan tak tertulis geng tersebut. Apalagi kalo kudu tampil ala kaum borjuis pula.

Dalam bahasa psikologi, dikenal istilah peer group, kelompok teman sebaya. Ini pengaruhnya kuat juga lho. Nggak percaya? Rasanya di antara kita udah pernah ngalami deh. Buktinya, kita lebih suka dan ridha "terpengaruh" teman ketimbang terpoles didikan orangtua di rumah. Alasannya, teman sebaya lebih mudah diajak ngobrol ketimbang ortu yang selalu dalam posisi "memerintah" dan sok kuasa. Walah, ini akibat kita nggak deket sama ortu. Kalo deket, nggak kejadian deh model gini. Tul nggak? Sabda Rasulullah, "Orang itu mengikuti agama teman dekatnya; karena itu perhatikanlah dengan siapa ia berteman dekat." (HR. Tirmidzi).

Sebetulnya banyak yang bisa kita jadikan teman. Karena manusia di dunia ini juga begitu bejibunnya. Persoalannya cuma satu; sulit. Yup, mencari teman yang baik itu relatif lebih sulit. Tapi, bukan berarti kita nggak bisa mendapatkan. Insya Allah bisa kok, asal kita mau berusaha untuk mencarinya.

Ibu saya sering wanti-wanti kepada saya waktu kecil dulu, bahwa kalo bermain jangan nakal, jangan suka masuk rumah orang tanpa ijin, dan yang terpenting, jangan bergaul dekat dengan teman yang nakal, teman yang perangainya buruk. Sampe saya SD, SMP, dan sampe sekarang, saya masih ingat kata-kata itu. Melekat erat di benak saya.

Saya sadar dengan nasihat ibu, bahwa kita harus hati-hati dan selektif memilih teman. Saya nurut dan alhamdulillah, teman saya banyak yang baiknya. Ada juga waktu sekolah dulu teman yang rada-rada error, tapi itu nggak membuat saya juga ikutan error, karena kebetulan nggak saya jadikan sebagai teman dekat. Kadang-kadang saya ngajak mereka yang error untuk lebih baik. Ada yang nerima dan banyak pula yang menolak. Tapi hubungan baik tetap jalan kok. Sebatas pertemanan biasa aja. Bukan sebagai sahabat atau teman dekat.

Sobat muda muslim, gimana pun juga, berteman dengan orang yang baik dan juga berilmu bisa memberikan kenikmatan, kebahagiaan, dan juga keuntungan buat kita. Saya pernah mengalaminya kok.

Jamannya masih sekolah SMA, ada teman yang selalu ngajakin saya ngaji. Dalam hati saya berpikir, buat apa ngaji lagi, saya udah pernah khatam Al-Qur'an kok. Shalat juga udah bisa. Tapi rupanya teman saya ini "nyundutin" saya terus, hingga akhirnya saya meleleh juga dengan sikap gigihnya. Untuk menghibur do'i, saya mau diajak ke tempat pengajiannya.

Hasilnya? Alhamdulillah, sejak saat itu, saya mulai mencintai Islam. Karena dalam kajiannya banyak yang ternyata belum saya tahu dan pahami. Saya malu waktu itu, ternyata masih banyak ajaran Islam yang belum saya kuasai benar, sementara saya merasa sombong bahwa saya udah bisa ngaji Al-Qur'an dan shalat, serta nggak lepas puasa Ramadhan.

Ah, seandainya nggak ketemu teman yang baik, dan tentunya nggak berteman dekat dengan yang baik perilaku dan keimanannya, rasanya sulit banget bagi saya untuk menemukan jalan hidayah Allah itu. Terima kasih, sahabatku.

***

Jadi Teman Dekat, Sebaiknya yang …

Pertama, pilih teman yang baik perangai dan perilakunya untuk dijadikan sebagai teman dekat atau sahabat. Ini bukan persoalan membedakan diri. Tapi ini untuk kebaikan kamu juga. Pilihlah teman yang baik perangainya; tidak arogan, tidak cepat marah, dan tidak suka melecehkan. Pilih juga teman yang nggak suka hura-hura dan suka nongkrong nggak karuan, dan carilah teman yang tidak dekat dengan miras dan narkoba. Sebabnya pasti, kalo ada teman main yang akrab dengan Singa Jengke dan Topi Nyengled (ini istilah para preman untuk menyebut merek minuman keras), bukan tak mungkin kita kebawa nenggak miras juga. So, ati-ati ye!

Kedua, yang punya prinsip kuat. Kenapa harus yang kuat memegang prinsip hidup? Karena biasanya merekalah orang-orang yang nggak mudah dikalahkan dan nggak mudah menyerah. Ia akan bersikukuh dengan kebenaran yang diyakininya dan kita bisa belajar darinya. Bukan tak mungkin pula kalo akhirnya kita juga bisa menyebarkan kepada teman yang lain yang menjadi teman dekat kita nantinya.

Tapi tentu saja, prinsip kuat yang dipegangnya adalah dalam hal kebenaran Islam, bukan kemaksiatan. Sebaliknya, kamu juga kudu punya prinsip kuat supaya nggak salah gaul, sekaligus jadi inceran teman lain untuk menjadikanmu sebagai teman dekatnya. Adil kan?

Ketiga, pilih yang menghargai dirinya sendiri. Yang ini kudu dicari. Sebab, orang yang pandai menghargai dirinya sendiri biasanya pandai juga menghargai orang lain, termasuk kamu, yang akan menjadi teman dekatnya nanti. Untuk ngecek, silakan lihat bagaimana dia berpakaian, bagaimana cara dia berbicara dengan orang lain, dan bagaimana menghormati orangtuanya.

Sebabnya kenapa? Karena orang yang menghargai dirinya, akan senantiasa menjaga imej diri. Berpakaian pun ia pandai memilih busana apa yang bisa menjaga dirinya. Sebagai muslim, maka ia akan menyesuaikan selera busananya tunduk pada aturan syari'at Islam. Juga, kalo teman kamu ini tutur katanya sopan, santun, dan menghargai orang lain, maka insya Allah ia sudah menjaga imej dirinya di hadapan orang lain dan ia akan berusaha menghargai orang lain yang berhubungan dengannya.

Intinya sih, orang yang bisa menghargai dirinya sendiri insya Allah adalah pilihan tepat untuk dijadikan teman dekat. Nah, biar adil sih, kamu juga musti menjadi pribadi yang bakal dicari orang lain untuk dijadikan teman dekatnya. Setuju kan?

Keempat, pastikan ia seseorang yang bisa dipercaya. Tentunya ini dambaan banyak orang termasuk kamu ya? Karena bisa menjaga rahasia hidup kita. Cara menilainya, kamu bisa cek atau ngetes dengan cara "ngomongin" kejelekan orang lain. Kalo dia nggak suka ngegosip, insya Allah rasanya pas deh kalo jadi temanmu. Insya Allah bisa dipercaya.

Sebaliknya, kamu juga harus memposisikan diri agar menjadi inceran orang lain untuk menjadikan kamu teman dekat yang bisa dipercaya. Jadi, kalo sama-sama berkualitas kan hubungan pertemanannya jadi lebih oke. Klop, karena sama-sama ngerti dan ngertiin.

Kelima, cari yang penuh semangat juang. Wah, ini bisa menjadi teman dekat disaat kita lagi bete. Ia bisa menjelma jadi penyemangat ulung untuk membangkitkan gairah kita. Lihat deh dari aktivitasnya yang nggak kenal lelah. Kalo di depan teman-teman ia tak pernah mengeluh, insya Allah ia adalah seseorang yang penuh semangat juang. Go! Go! Cari sampe dapet! Oya, jangan lupa bahwa diri kita juga harus memiliki potensi dan semangat yang sama agar jadi idaman teman lain untuk menjadikan kita teman dekat mereka.

Oke deh, itulah pentingnya mencari teman dalam hidup ini. Lagian, kita hidup di dunia ini sementara. Apa yang bisa kita bawa kepada Allah SWT di hari penghisaban selain amal baik kita. Jadi, mulailah memupuk amal baik, salah satunya bisa dicoba mencari partner hidup yang bisa mengajak kita lebih baik dalam hidup ini. Dialah teman kita, sahabat kita.

Itu sebabnya, meski agak susah nyari teman yang ideal seperti yang kita inginkan untuk kebaikan kita, tapi bukan berarti kita diam aja. Kita juga bisa melakukan yang terbaik untuk "memancing" orang agar menjadikan kita sebagai teman dekat sekaligus teman baiknya.

Oke deh, selamat memilih teman sejati. Jangan pilih teman tapi setan yang bisanya cuma ngomporin untuk berbuat maksiat. Salam perjuangan. [gaulislam-019/I/030308]

Memilih Teman, Memilih Masa Depan

"Berkawan seorang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya, jauh lebih baik daripada dengan berkawan seorang 'alim yang selalu memperturutkan hawa nafsunya." (Ibnu Atha'illah)
Memilih teman sama artinya dengan memilih masa depan. Memilih teman sama artinya dengan memilih perilaku. Memilih teman sama artinya dengan memilih kualitas ilmu. Maka, siapa pun yang ingin masa depannya cerah, perilakunya menawan hati, serta luas ilmu dan wawasannya, maka ia harus sangat pandai memilih teman.
Kita akan sulit berkembang bila sehari-hari kita bergaul dengan orang-orang malas. Kita pun akan sulit meraih kemuliaan akhlak, bila sehari-hari kita bergaul dengan orang yang buruk akhlaknya. Maka, tinggi rendahnya kualitas seorang manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas orang yang menjadi temannya.
Rasulullah SAW bersabda, "Seseorang itu adalah menurut agama sahabat (karib)nya. Karena itu, ada baiknya seseorang dari kamu meneliti dulu siapa yang akan dijadikan sahabatnya" (HR Abu Dawud dan At-Turmudzi).
Orang seperti apa yang layak kita jadikan teman dekat? Yang pertama dan utama adalah orang yang baik akhlaknya dan mampu mengendalikan hawa nafsunya. Bahkan, Imam Ibnu Atha'illah dalam kitab Hikam mengatakan, "Berteman seorang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya, jauh lebih baik daripada dengan berkawan seorang 'alim yang selalu memperturutkan nafsunya". Mengapa? Orang berilmu tapi memperturutkan hawa nafsu, biasanya akan membenarkan kemaksiatan yang dilakukannya dengan dalil-dalil Alquran dan hadis. Dikhawatirkan, lambat laun kita pun akan membenarkan kemaksiatan tersebut hanya karena bersandar pada dalil-dalil.
Saudaraku, bahaya terbesar dalam hidup adalah diperbudak nafsu. Tidak ada artinya limpahan harta, tinggi jabatan, banyaknya pengikut, tampannya rupa, atau luasnya ilmu, bila kita diperbudak nafsu. Saat diperbudak nafsu, semua yang kita miliki akan digunakan untuk memuaskan nafsu tersebut.
Ada baiknya kita berpikir sejenak, lihat siapa teman-teman dekat kita. Boleh jadi, kualitas diri kita tidak pernah mengalami perubahan karena salah memilih teman. Kita berteman akrab dengan orang-orang yang kualitasnya di bawah kita. Akibatnya, kita merasa paling saleh, paling pintar, dan paling hebat di antara teman-teman kita. Bila demikian, kita tertipu oleh kepintaran semua. Ketika kita salah melihat diri, kita pun akan salah dalam melangkah.
Idealnya kita berteman dengan orang-orang yang kualitasnya jauh lebih baik, sehingga kita tidak merasa paling pintar dan paling saleh. Justeru kita akan merasa paling kurang. Saat berteman dengan orang-orang yang berkualitas, biasanya kita akan terangsang dan termotivasi untuk belajar dan mengejar ketertinggalan. Karena itu ada yang mengatakan, kalau kita ingin menjadi ulama maka bergaulah dengan ulama; ingin menjadi pedagang, maka bergaullah dengan para pedagang; ingin menjadi seniman, maka bergaulah dengan seniman.
Saudaraku, setiap hari masalah yang kita hadapi akan semakin berat dan kompleks. Kita akan terpuruk bila banyaknya masalah tidak diimbangi dengan peningkatan kemampuan diri untuk menyelesaikannya. Maka, rugi bila dalam sehari kita tidak bertemu dengan orang yang lebih baik dari kita. Rugi karena kita tidak mendapat ilmu, wawasan, dan semangat baru. Dan celaka bila kita menjauh dan memusuhi orang-orang yang lebih baik dari kita. Wallahu a'lam

Sumber : http://my.opera.com/

Pandai Memilih Hubungan

Oleh Eko Jalu Santoso

Dikisahkan tentang seseorang yang ingin bertobat, padahal ia sudah membunuh 99 kali dan belum pernah melakukan kebaikan. Ketika bertanya kepada seorang rahib tentang peluang tobatnya, sang rahib mengatakan tidak ada lagi peluang untuk tobat, maka kemudian dibunuhlah rahib itu dan genaplah 100 nyawa yang melayang melalui tangannya. Lalu, dia mendatangi seorang alim, kemudian orang alim itu memberikan kabar gembira bahwa Allah akan menerima tobat hamba yang bersungguh-sungguh. Hingga akhirnya, orang alim itu menyuruh laki-laki tersebut untuk meninggalkan kampung halaman dan lingkungan pergaulannya yang dahulu, lalu berhijrah menuju perkampungan orang-orang saleh.

Tetapi, Allah berkehendak lain. Di tengah-tengah perjalanan malaikat maut mencabut nyawanya. Akhirnya malaikat rahmat dan malaikat azab saling berebut tentang urusan laki-laki tersebut. Kemudian, malaikat rahmat diperkenankan membawanya. Karena, setelah diukur, ternyata jasad laki-laki itu lebih dekat jaraknya dengan perkampungan orang-orang yang saleh

dibanding dengan lingkungannya yang dulu.

Apa makna yang dapat kita ambil dari kisah diatas ? Kisah di atas hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi kita bahwa lingkungan yang baik dan bergaul dengan orang-orang positif, berakhlak mulia dan saleh sangat mutlak kita butuhkan untuk menjaga eksistensi kualitas kehidupan dan keimanan kita.

Ketika manusia hidup menjadi bagian dari koloni yang sangat besar di dunia ini, pasti akan dihadapkan pada beragam hubungan dengan sesama kehidupan lainnya. Kemanapun kaki melangkah, pasti sudah menunggu hubungan dengan manusia lainnya. Bahkan seberapapun kerasnya Anda berusaha untuk mengasingkan diri misalnya, pasti akan berhubungan dengan orang lain.

Setiap individu pasti berhubungan dengan berbagai ragam manusia, mulai dari bentuk rupa, warna kulit dan lidah yang berbeda-beda. Perbedaan dan keragaman manusia tidak terbatas pada hal-hal tersebut, tetapi juga karakter dan budayanya. Bahkan perbedaan dalam tingkatan kehidupan, dari mulai yang elit sampai yang alit, dari mulai jendral sampai kopral, dari yang kelas atas sampai kelas bawah, dari orang sukses sampai orang gagal, demikianlah biasanya kita menyebutnya. Semuanya lengkap dengan pemikiran, budaya, dan tradisi masing-masing.

Perbedaan dan kebergaman ini seringkali menjadikan terasa sangat sulit untuk mencari pergaulan yang baik, lingkungan yang sejuk, dan tempat yang aman dan damai. Padahal, lingkungan hidup mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Persaingan kehidupan yang semakin ketat, gemerlapnya kehidupan dunia, pengaruh lingkungan kehidupan, juga banyak menjadikan manusia keliru dalam memilih lingkungan persahatan dan pergaulannya. Padahal, keliru dalam hal ini bisa berakibat fatal.

Salah satu contoh misalnya, sebagian orang ada yang membatasi pergaulannya hanya dengan orang-orang tertentu yang dianggap selevel dengan mereka, atau memilih orang-orang tertentu yang cocok untuk mereka. Sayangnya, seringnya pertimbangan mereka dalam menentukan siapa yang cocok untuk persahabatan dan pergaulan adalah keliru. Yakni biasanya, pertimbangan mereka itu hanya berdasarkan kepentingan dan kesenangan dunia. Hanya berdarkan orientasi keuntungan dunia semata, yang notabene seringkali sangat dipengaruhi oleh nafsu dan ego pribadi.

Memilih Hubungan Sejati

Lantas bagaimana memilih persahabatan yang benar ? Bagaimana memilih hubungan yang baik, ditengah banyaknya kepentingan dan ego pribadi ? Apa saja yang menjadi pertimbangan dalam memilih hubungan yang baik ?

Berikut ini berapa tips, yang dapat menjadi pertimbangan bagi kita dalam mengembangkan persahabatan dan pergaulan yang baik, yakni:

1. Perbedaan Adalah Hikmah.

Setiap individu dari manusia haruslah menyadari dirinya, menyadari posisinya dan peka terhadap apa yang ada di sekelilingnya, sehingga dia tampil sebagai sosok yang professional dan proporsional, dan mampu mengambil langkah yang tepat dalam menjalani kehidupannya. Sesungguhnya banyak sekali Hikmah dari adanya berbagai perbedaan manusia, di antaranya adalah agar manusia mengetahui sebagian tanda-tanda kebesaran Allah. Dengan kata lain, perbedaan tersebut tidak perlu menjadi penghalang dalam membina hubungan dengan orang lain.

2. Mengedepankan nilai-nilai kebaikan.

Ibnu Katsir mengatakan mengenai persahabatan, “Janganlah mengikuti orang yang mengabaikan agama dan ibadah karena sibuk dengan urusan dunia. Sedang amal dan perbuatannya sebagai bentuk kebodohan, tindakan melampaui batas, dan sia-sia. Dan janganlah kamu taat kepadanya, jangan menyukai jalannya, dan jangan iri dengan keadaannya.”

Hal ini menganjurkan kita untuk duduk bergaul dengan orang-orang yang memiliki semangat positif, berakhlak mulia, mengedepankan nilai-nilai spiritual, agama dan ibadah, tanpa pandang bulu, baik itu dari kalangan atas, kalangan menengah, ataupun arus bawah yang miskin, yang kedudukannya tidak dihiraukan oleh masyarakat sekalipun.

Orang yang mengedepankan nilai-nilai spiritual sesuai suara hatinya, pada umumnya adalah orang-orang yang baik. Maka dari itu, hendaknya kita hanya membatasi pergaulannya dengan orang-orang yang baik, siapa pun dia. Jika kita bergaul dengan orang-orang yang baik, banyak sekali manfaat dan faedah yang didapatkan.

3. Kemuliaan Akhlak Adalah Yang Utama

Banyak orang, hanya karena mengejar kesenangan di dunia, mereka rela mengorbankan kesenangan yang hakiki, yaitu ketika mereka salah dalam memilih teman dan lingkungan pergaulan. Kebanyakan manusia lebih memilih teman yang bisa diajak bersenang-senang, hura-hura, dan menyia-nyiakan usia mereka, ketimbang berhubungan dengan orang yang berpikiran positif, memiliki kekayaan emosional dan spiritual, perilaku baik dan orang-orang yang takut kepada Allah.

Karena, memang orang yang berpikiran positif, orang-orang saleh, orang-orang berakhlak mulia, di mata masyarakat umum kurang disenangi, atau bahkan dianggap asing. Pandangan ini timbul karena masyarakat sudah mengalami krisis multidimensi, dan terutama adalah dekadensi moral yang sangat parah. Sehingga, orang yang seharusnya dijadikan teman justru dijauhi.

Padahal, syarat untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan hakiki adalah selalu memiliki sikap positif, mengedepankan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, mempertahankan keimanan dan memiliki motivasi yang tinggi dalam kehidupan. Dengan selalu bergaul dengan orang-orang yang bersikap positif, memiliki motivasi untuk berprestasi, memiliki akhklak mulia, akan mendorong kita untuk memiliki kualitas kehidupan yang baik.

Disinilah pentingnya setiap individu pandai dalam memilih teman dan lingkungan. Kita harus selektif, yaitu memilih orang-orang yang berpikiran positif, memiliki motivasi berprestasi dan memebrikan manfaat bagi kehidupan, mengedepankan nilai-nilai spiritual seperti kejujuran, kebersamaan, kasih saying, kebaikan, keadilan, dll. Memiliki motivasi tinggi dalam meraih prestasi kehidupan.

Mereka yang dapat menjaga keseimbangan dalam kehidupan dunia tanpa mengabaikan nilai-nilai spiritual dan keimanan. Mereka itulah yang hendaknya kita jadikan teman sejati. Agar efek samping yang kita dapatkan adalah kebaikan, kesuksesan dan kebahagiaan sejati. Jangan sampai kita memilih teman dan lingkungan yang tidak baik, karena lambat laun dikhawatirkan kita akan tertular atau paling tidak ikut terkena getahnya. Ada pepatah Arab yang mengatakan, “Akhlak yang buruk itu akan menular.”

“Sesungguhnya, perumpamaan teman duduk yang baik dengan teman duduk yang jahat adalah bagaikan penjual (pembawa) minyak wangi dan tukang (peniup) pandai besi. Penjual minyak wangi, mungkin akan memberimu, atau engkau bisa membeli darinya, atau paling tidak engkau akan mendapat aroma yang enak. Sedangkan tukang pandai besi, kalau tidak membakar bajumu, paling tidak engkau akan mendapatkan bau busuk (tak sedap) darinya.”

- Al-Hadits -.

Salam Motivasi Nurani.

Sumber: Memilih Hubungan Sejati oleh Eko Jalu Santoso, seorang professional di dunia usaha, Founder Motivasi Nurani Indonesia, Penulis Buku “The Art of Life Revolution” yang diterbitkan Elex Media Komputindo.

Berhati-hati Memilih Teman
Penulis: Salsabila Zahrainy

Seorang teman pada dasarnya menunjukkan tentang siapa orang yang ditemaninya. Kita sering melihat di sekitar kita bahwa orang yang baik-baik jatuh tergelincir disebabkan oleh teman yang jahat memperdayainya. Sebagai umat muslim sudah menjadi tugas kita untuk memulai hidup ini dari memilih teman yang baik, sebab setiap teman tidak lepas dari saling mempengaruhi.

Sebagaimana yang diwahyukan oleh Allah dalam Al Quran Surat Ali Imran :118

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.(QS 3:118)

Ayat di atas dengan jelas mengingatkan orang yang beriman agar supaya berhati-hati dalam memilih sahabat, karena ikatan keagamaan lebih kuat dibandingkan ikatan yang lainnya.

Persaudaraan dalam Islam merupakan faktor persatuan, sedangkan persatuan merupakan faktor kekuatan. Lalu kekuatan merupakan faktor ketaqwaan dan ketaqwaan merupakan benteng untuk menghindari kezaliman. Persaudaraan di jalan Allah bukan sekedar kasih sayang biasa, tetapi merupakan kasih sayang yang sesungguhnya karena terpaut perasaan iman. Orang yang paling baik untuk dijadikan teman adalah orang yang berilmu serta Saleh. Karena itulah teman-teman/sahabat-sahabat Rasulullah adalah orang yang berilmu, Saleh, amanah dan senantiasa memelihara bacaan Qur’an.

Kita sering menyaksikan orang saling bermusuhan, saling menzalimi dan saling memutuskan silaturahmi akibat teman yang buruk, yakni teman yang menuruti keinginan setan. Sebab teman yang buruk itu selalu mendorong mereka ke tepi jurang yang runtuh, lalu jatuh bersama mereka ke neraka jahanam.

Firman Allah dalam Surat Al Furqan: 27-28 menjelaskan sebagai berikut:

Artinya:
27. Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya*, seraya berkata:
"Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul".
28. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan** itu teman akrab(ku).

*) Menggigit tangan (jari) maksudnya menyesali perbuatannya.
**) Yang dimaksud dengan si Fulan, ialah syaitan atau orang yang telah menyesatkannya di
dunia.
Oleh karena itu sudah saatnya mulai dari sekarang kita harus selektif dalam memilih teman dengan benar, yakni yang berahlak baik, selalu berpegang teguh pada Al Quran, pandai, amanah, seusia dan wara’ (jujur dan bersih serta selalu menjaga hati dan jiwa dari hal-hal yang bersifat haram dan syubhat).
Teman seperti ini akan mengarahkan pikiran kita dengan benar, menebar kasih sayang dan menggunakan waktu di jalan Allah, mengingatkan hal-hal yang menodai diri mereka dan tidak menyia-nyiakan waktu di luar taat kepada Allah. Teman yang ideal karakteristiknya adalah teman yang mau mengerti aktivitas kita dan mengangkat kita menjadi bernilai di hadapan orang lain, sedangkan yang tidak mau mengerti akan menjerumuskan kita menjadi orang yang sangat rendah.


Sebagaimana Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk itu seperti yang membawa Kesturi dan yang meniup besi panas. Yang membawa Kesturi; boleh jadi ia mengikutimu, kamu membeli darinya, atau kamu mendapati bau wangi darinya. Sedangkan yang membawa besi panas; boleh jadi ia membakar bajumu atau kamu mendapati bau apek darinya.”

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda:
“Sesungguhnya di sekeliling ‘Arasy itu terdapat mimbar-mimbar dari Cahaya. Di atas mimbar-mimbar itu ada sekelompok orang yang pakaiannya cahaya dan mukanya cahaya pula. Mereka itu bukan para Nabi dan bukan pula para Syuhada, tetapi para Nabi dan para Syuhada mengidam-idamkan seperti mereka. Para sahabat bertanya, “Sebutkan sifat-sifat mereka kepada kami Ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Mereka itu) orang-orang yang saling mencintai di jalan Allah, yang berteman di jalan Allah dan yang saling mengunjungi di jalan Allah.”
Jadi syarat berteman hendaklah karena Allah dan di jalan Allah, yaitu bersih dari unsur-unsur kepentingan duniawi dan materi.

Setiap teman, antara satu dengan yang lainnya hendaknya memenuhi hak-hak teman di jalan Allah berikut ini:
1. Dihibur ketika membutuhkan
2. Hendaklah masing-masing mereka saling memberi bantuan dalam memenuhi
kebutuhan, saling mendengar jika berbicara dan saling memberi tempat duduk di
dalam ruangan.
3. Tidak diceritakan selain yang baik-baiknya
4. Dipanggil dengan sebutan/panggilan/kata-kata menurut kesukaannya
5. Dimaafkan kesalahannya dan ditutupi segala kekurangannya
6. Mendapat kesetiaan temannya terus menerus
7. Tidak dibebani di luar kemampuannya dan kesukaannya dan tidak dimanfaatkan
baik harta maupun kedudukannya
8. Mendapat doa yang baik dari temannya

Sumber : http://www.pernikmuslim.com

Sepercik Cahaya Keindahan Islam: Akidah (1)
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri

إنَّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلَّ له، ومن يضلل فلا هادي له، أشهد أن لا إله إلاَّ الله وحده لا شريك له وأشهد أنَّ محمداً عبده ورسوله فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه و سلم، وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار

Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, Dzat yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Amiin.

Syari’at islam –segala puji hanya milik Allah- bersifat universal, mencakup segala urusan, baik yang berkaitan dengan urusan ibadah ataupun mu’amalah, sehingga syari’at Islam benar-benar seperti yang Allah firmankan,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridlo Islam menjadi agamamu.” (QS. Al Maidah: 3)

Dan sebagaimana yang Allah firmankan pada ayat lain,

إِنَّ هَـٰذَا ٱلْقُرْءَانَ يِهْدِى لِلَّتِى هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا

“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al Isra’: 9)

Syeikh Abdurrahman As Sa’dy rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Allah Ta’ala mengabarkan tentang kemuliaan dan kedudukan Al Qur’an yang agung, dan bahwasannya Al Qur’an akan membimbing (manusia) kepada jalan yang paling lurus. Maksudnya jalan yang paling adil lagi mulia, baik dalam urusan akidah (idiologi) perilaku dan akhlak. Maka barang siapa yang menjalankan segala seruan Al Qur’an, niscaya ia menjadi orang yang paling sempurna, lurus, dan paling benar dalam segala urusannya. Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal saleh baik yang wajib atau sunnah, bahwa bagi mereka ada pahala yang besar yang telah Allah siapkan di surga, yang tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui hakikatnya.” (Taisiril Karimir Rahman: 454)

Dan pada ayat lain, Allah Ta’ala menyebutkan bahwa pahala yang telah Ia siapkan bagi orang-orang yang beramal sholeh dan menjalankan syari’at Al Qur’an bukan hanya di surga semata, akan tetapi juga meliputi pahala di dunia, sebagaimana yang Allah Ta’ala tegaskan pada ayat berikut,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai penguasa, dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa.Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (QS. An Nur: 55)

Inilah pahala dan ganjaran yang akan diberikan kepada orang-orang yang menjalan syari’at Al Qur’an.

Walau demikian tingginya syari’at Al Qur’an dan begitu adilnya syari’at Islam serta begitu besarnya pahala dan balasan yang diberikan kepada orang-orang yang mengamalkannya, akan tetapi fenomena umat Islam di zaman kita tidaklah mencerminkan akan yang demikian itu. Betapa rendahnya umat Islam di mata umat lain, betapa terpuruknya perekonomian, keamanan dan kekuatan umat Islam bila dibandingkan dengan umat lain, betapa remehnya ilmu Al Qur’an di mata banyak dari kaum muslimin bila dibandingkan dengan berbagai ilmu-ilmu lainnya dan betapa banyaknya petaka yang dari hari ke hari menimpa mereka.

Kenyataan pahit ini hanya ada satu jawaban, yaitu sebagaimana yang Allah Ta’ala tegaskan pada firman-Nya berikut,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’araf: 96)

Dan pada firman-Nya berikut ini,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum: 41)

Bila ada yang bertanya, Mengapa umat Islam di seluruh belahan dunia dengan mudah dapat terjerumus ke dalam keadaan yang amat mengenaskan demikian ini?

Maka jawabannya ada pada firman Allah Ta’ala berikut,

اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al Fatihah: 6-7)

Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan dua ayat ini berkata, “Jalan orang-orang yang telah Engkau limpahkan kepada mereka kenikmatan, yang telah disebutkan kriterianya, yaitu orang-orang yang mendapat petunjuk, beristiqomah, senantiasa ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya dan yang senantiasa menjalankan perintah dan menjauhi segala larangannya. Jalan tersebut bukanlah jalan orang-orang yang dimurkai, yaitu orang-orang yang telah rusak jiwanya, sehingga mereka mengetahui kebenaran akan tetapi mereka berpaling darinya. Tidak juga jalannya orang-orang yang tersesat, yaitu orang-orang yang tidak berilmu, sehingga mereka terombang-ambingkan dalam kesesatan dan tidak dapat mengetahui kebenaran.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/29).

Bila kita renungkan keadaan umat Islam sekarang ini, maka kita akan dapatkan bahwa kebanyakan pada mereka terdapat satu dari dua perangai di atas:

1. Mengetahui kebenaran akan tetapi dengan sengaja berpaling darinya, karena mengikuti bisikan hawa nafsu dan ambisi pribadinya.

2. Tidak mengetahui kebenaran, sehingga kehidupannya bagaikan orang yang sedang hanyut dan diombang-ambingkan oleh derasnya arus badai, sehingga ia berpegangan dengan apa saja yang ada di sekitarnya, walaupun hanya dengan sehelai rumput atau sarang laba-laba. Ia tidak mengetahui kebenaran yang diajarkan oleh Al Qur’an, sehingga ia hanyut oleh badai kehidupan, dan akhirnya mengamalkan atau meyakini apa saja yang ia dengar dan baca. Bahkan tidak jarang, orang-orang jenis ini dengan tidak sengaja memerangi dan memusuhi syari’at Al Qur’an, sebagaimana dinyatakan dalam pepatah arab,

الإنسان عدوٌ لما يجهله

“Setiap manusia itu akan memusuhi segala yang tidak ia ketahui.”

Oleh karena itu pada kesempatan ini kita akan bersama-sama mengenali berbagai sisi keindahan dan keadilan syariat Al Qur’an, sehingga keimanan kita semakin kokoh bahwa syari’at islam adalah syari’at yang lurus dan satu-satunya metode hidup yang dapat merealisasikan kebahagiaan bagi umat manusia di dunia dan akhirat.

Berikut kita akan membaca syari’at Al Qur’an dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia, agar iman kita semakin kokoh bahwa Al Qur’an adalah metode dan dasar bagi kehidupan umat manusia dalam segala aspeknya. Bukan hanya dalam urusan peribadatan kepada Allah Ta’ala semata, akan tetapi mencakup segala aspek kehidupan umat manusia.

1. Akidah (Keyakinan)

Bagian ini adalah bagian yang paling banyak diperhatikan dan ditekankan dalam syari’at Al Qur’an. Bahkan permasalahan ini telah disatukan dengan segala urusan setiap muslim dan dijadikan sebagai tujuan dari segala gerak dan langkah kehidupan mereka. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Az Dzariyat: 56)

Dan pada ayat lain Allah berfirman,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (ajal/kematian).” (QS. Al Hijr: 99)

Inilah akidah Al Qur’an, yaitu beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan segala macam bentuk peribadatan kepada selain-Nya, baik peribadatan dengan pengagungan, kecintaan, rasa takut, harapan, ketaatan, pengorbanan, atau lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا

“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS. An Nisa’: 36)

Akidah Al Qur’an juga mengajarkan agar umat Islam menjadi kuat dan perkasa bak gunung yang menjulang tinggi ke langit, tak bergeming karena terpaan angin atau badai. Akidah Al Qur’an mengajarkan mereka untuk senantiasa yakin dan beriman bahwa segala yang ada di langit dan bumi adalah milik Allah, tiada yang dapat menghalang-halangi rezeki yang telah Allah tentukan untuk hamba-Nya dan tiada yang dapat memberi rezeki kepada orang yang tidak Allah Ta’ala beri.

لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ كُلٌّ لَّهُ قَانِتُونَ

“Apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 116)

Dan pada ayat lain Allah berfirman,

لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى

“Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.” (QS. Thoha: 6)

Dengan keyakinan dan iman semacam ini, setiap muslim tidak akan pernah menggantungkan kebutuhan atau harapannya kepada selain Allah, baik itu kepada malaikat, atau nabi atau wali atau dukun atau ajimat. Tiada yang mampu memberi atau mencegah rezeki, keuntungan, pertolongan atau lainnya selain Allah Ta’ala:

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِن بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2)

Pada ayat lain Allah berfirman,

قُلْ مَن ذَا الَّذِي يَعْصِمُكُم مِّنَ اللَّهِ إِنْ أَرَادَ بِكُمْ سُوءًا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ رَحْمَةً وَلَا يَجِدُونَ لَهُم مِّن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

“Katakanlah, ‘Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (kehendak) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu.’ Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah.” (QS. Al Ahzab: 17)

Dan bukan hanya menanamkan keimanan dan tawakal yang kokoh kepada Allah semata, akan tetapi akidah Al Qur’an juga benar-benar telah meruntuhlantahkan segala keterkaitan, ketergantungan, mistik, takhayul dan segala bentuk kepercayaan kaum musyrikin kepada sesembahan selain Allah, sampai-sampai digambarkan bahwa sesembahan -atau apapun namanya- selain Allah tidak berdaya apapun bila ada seekor lalat yang merampas makanan mereka. Mereka tidak akan pernah mampu menyelamatkan makanan yang telah terlanjur dirampas oleh lalat, seekor mahluk lemah dan hina.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِن يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَّا يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ. مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Hajj: 73-74)

Akidah Al Qur’an juga mengajarkan bahwa sumber kelemahan dan kegagalan umat manusia ialah karena mereka jauh dari pertolongan dan bimbingan Allah, semakin mereka menjauhkan diri dari Allah dan semakin menggantungkan harapannya kepada selain-Nya maka semakin rusak dan hancurlah harapan dan kepentingannya,

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

“Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al Jin: 6)

Akidah Al Qur’an juga mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memiliki keyakinan yang kokoh bahwa tidaklah ada di dunia ini yang mampu mengetahui hal yang gaib selain Allah. Sehingga dengan keimanan semacam ini umat islam terlindungi dari kejahatan para dukun, tukang ramal dan yang serupa.

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

“Katakanlah, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui kapankah mereka akan dibangkitkan.” (QS. Fathir: 65)

Dengan akidah Al Qur’an ini, seseorang akan memiliki kejiwaan yang tangguh, pemberani dan bersemangat tinggi, pantang mundur dan tak kenal putus asa dalam menjalankan roda-roda kehidupan dan mengarungi samudra kenyataan. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan kepada saudara sepupunya akidah Al Qur’an di atas dengan sabdanya,

يا غلام إني أعلمك كلمات احفظ الله يحفظك احفظ الله تجده تجاهك إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك ولو اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك رفعت الأقلام وجفت الصحف. رواه أحمد والترمذي والحاكم

“Jagalah (syari’at) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (syari’at) Allah, niscaya engkau akan dapatkan (pertolongan/perlindungan) Allah senantiasa dihadapanmu. Bila engkau meminta (sesuatu) maka mintalah kepada Allah, bila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah (yakinilah) bahwa umat manusia seandainya bersekongkol untuk memberimu suatu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat melainkan dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu, dan seandainya mereka bersekongkol untuk mencelakakanmu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakakanmu selain dengan suatu hal yang telah Allah tuliskan atasmu. Al Qalam (pencatat taqdir) telah diangkat, dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Ahmad, dan At Tirmizi)

-bersambung insya Allah-

courtesy of www.muslim.or.id

epercik Cahaya Keindahan Islam: Metode Beramal (2)
Tanggal posting: 21-02-07
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri

2. Metode Beramal

Syari’at Al Qur’an mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa beramal guna merealisasikan kepentingannya baik kepentingan dunia atau akhirat. Sebagaimana syari’at Al Qur’an telah menanamkan pada jiwa umatnya bahwa suatu keadaan yang ada pada mereka tidaklah pernah akan berubah tanpa melalui upaya dan perjuangan dari mereka sendiri. Langit tidaklah akan pernah menurunkan hujan emas dan perak, dan bumi tidaklah akan menumbuhkan intan dan berlian. Semuanya harus diupayakan dan diperoleh melalui perjuangan dan pengorbanan.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’adu: 11)

Syari’at Al Qur’an mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memiliki semangat baja dan tidak kenal putus asa dalam beramal. Walau aral telah melintang, dan kegagalan telah dituai, akan tetapi semangat beramal tidaklah boleh surut atau padam. Berjuang dan berjuang, berusaha dan terus berusaha hingga keberhasilan dapat direalisasikan, itulah semboyan setiap seorang muslim dalam setiap usahanya. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mukminun: 51)

Dan pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَيْأَسُواْ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِنَّهُ لاَ يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)

Oleh karena itu sikap bermalas-malasan dan hanya menunggu uluran tangan orang lain, tidak pernah diajarkan dalam syari’at Al Qur’an. Syari’at Al Qur’an bahkan menganjurkan agar setiap muslim mampu menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga dan juga masyarakatnya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

على كل مسلم صدقة. قيل: أرأيت إن لم يجد؟ قال: يعتمل بيديه فينفع نفسه ويتصدق. قال: قيل: أرأيت إن لم يستطع؟ قال: يعين ذا الحاجة الملهوف. قال: قيل له: أرأيت إن لم يستطع؟ قال: يأمر بالمعروف أو الخير. قال: أرأيت إن لم يفعل؟ قال: يمسك عن الشر، فإنها صدقة

“Wajib atas setiap orang muslim untuk bersedekah. Dikatakan kepada beliau, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia bekerja dengan kedua tangannya, sehingga ia menghasilkan kemanfaatan untuk dirinya sendiri dan juga bersedekah.’ Dikatakan lagi kepadanya, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia membantu orang yang benar-benar dalam kesusahan.’ Dikatakan lagi kepada beliau, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia memerintahkan dengan yang ma’ruf atau kebaikan.’ Penanya kembali berkata, ‘Bagaimana bila ia tidak (mampu) melakukannya?’ Beliau menjawab, ‘Ia menahan diri dari perbuatan buruk, maka sesungguhnya itu adalah sedekah.’” (HR. Muslim)

Dan pada hadits lain, beliau bersabda,

المؤمن القوي خير وأحب إلي الله من المؤمن الضعيف وفي كل خير. احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز، وإن أصابك شيء فلا تقل: لو أني فعلت كذا وكذا، لكان كذا وكذا، ولكن قل: قدر الله وما شاء فعل، فإن لو تفتح عمل الشيطان

“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibanding seorang mukmin yang lemah, dan pada keduanya terdapat kebaikan. Senantiasa berusahalah untuk melakukan segala yang berguna bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah engkau menjadi lemah. Dan bila engkau ditimpa sesuatu, maka janganlah engkau berkata: seandainya aku berbuat demikian, demikian, niscaya akan terjadi demikian dan demikian, akan tetapi katakanlah, ‘Allah telah mentakdirkan, dan apa yang Ia kehendakilah yang akan Ia lakukan’, karena ucapan “seandainya” akan membukakan (pintu) godaan syetan.” (HR. Muslim)

Syari’at Al Qur’an ini bukan hanya berlaku dalam urusan dunia, dan pekerjaan dunia, akan tetapi berlaku juga pada amalan yang berkaitan dengan urusan akhirat, yaitu berupa amalan ibadah. Hendaknya setiap muslim berjuang dan berusaha keras dalam menjalankan ibadah kepada Allah Ta’ala. Tidak cukup hanya beramal, akan tetapi antara sesama umat muslim saling berlomba-lomba dalam kebajikan dan amal sholeh,

وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. Al Maidah: 48)

Dan pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا


Sepercik Cahaya Keindahan Islam: Metode Beramal (2)
Tanggal posting: 21-02-07
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri

2. Metode Beramal

Syari’at Al Qur’an mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa beramal guna merealisasikan kepentingannya baik kepentingan dunia atau akhirat. Sebagaimana syari’at Al Qur’an telah menanamkan pada jiwa umatnya bahwa suatu keadaan yang ada pada mereka tidaklah pernah akan berubah tanpa melalui upaya dan perjuangan dari mereka sendiri. Langit tidaklah akan pernah menurunkan hujan emas dan perak, dan bumi tidaklah akan menumbuhkan intan dan berlian. Semuanya harus diupayakan dan diperoleh melalui perjuangan dan pengorbanan.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’adu: 11)

Syari’at Al Qur’an mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memiliki semangat baja dan tidak kenal putus asa dalam beramal. Walau aral telah melintang, dan kegagalan telah dituai, akan tetapi semangat beramal tidaklah boleh surut atau padam. Berjuang dan berjuang, berusaha dan terus berusaha hingga keberhasilan dapat direalisasikan, itulah semboyan setiap seorang muslim dalam setiap usahanya. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mukminun: 51)

Dan pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَيْأَسُواْ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِنَّهُ لاَ يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)

Oleh karena itu sikap bermalas-malasan dan hanya menunggu uluran tangan orang lain, tidak pernah diajarkan dalam syari’at Al Qur’an. Syari’at Al Qur’an bahkan menganjurkan agar setiap muslim mampu menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga dan juga masyarakatnya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

على كل مسلم صدقة. قيل: أرأيت إن لم يجد؟ قال: يعتمل بيديه فينفع نفسه ويتصدق. قال: قيل: أرأيت إن لم يستطع؟ قال: يعين ذا الحاجة الملهوف. قال: قيل له: أرأيت إن لم يستطع؟ قال: يأمر بالمعروف أو الخير. قال: أرأيت إن لم يفعل؟ قال: يمسك عن الشر، فإنها صدقة

“Wajib atas setiap orang muslim untuk bersedekah. Dikatakan kepada beliau, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia bekerja dengan kedua tangannya, sehingga ia menghasilkan kemanfaatan untuk dirinya sendiri dan juga bersedekah.’ Dikatakan lagi kepadanya, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia membantu orang yang benar-benar dalam kesusahan.’ Dikatakan lagi kepada beliau, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia memerintahkan dengan yang ma’ruf atau kebaikan.’ Penanya kembali berkata, ‘Bagaimana bila ia tidak (mampu) melakukannya?’ Beliau menjawab, ‘Ia menahan diri dari perbuatan buruk, maka sesungguhnya itu adalah sedekah.’” (HR. Muslim)

Dan pada hadits lain, beliau bersabda,

المؤمن القوي خير وأحب إلي الله من المؤمن الضعيف وفي كل خير. احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز، وإن أصابك شيء فلا تقل: لو أني فعلت كذا وكذا، لكان كذا وكذا، ولكن قل: قدر الله وما شاء فعل، فإن لو تفتح عمل الشيطان

“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibanding seorang mukmin yang lemah, dan pada keduanya terdapat kebaikan. Senantiasa berusahalah untuk melakukan segala yang berguna bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah engkau menjadi lemah. Dan bila engkau ditimpa sesuatu, maka janganlah engkau berkata: seandainya aku berbuat demikian, demikian, niscaya akan terjadi demikian dan demikian, akan tetapi katakanlah, ‘Allah telah mentakdirkan, dan apa yang Ia kehendakilah yang akan Ia lakukan’, karena ucapan “seandainya” akan membukakan (pintu) godaan syetan.” (HR. Muslim)

Syari’at Al Qur’an ini bukan hanya berlaku dalam urusan dunia, dan pekerjaan dunia, akan tetapi berlaku juga pada amalan yang berkaitan dengan urusan akhirat, yaitu berupa amalan ibadah. Hendaknya setiap muslim berjuang dan berusaha keras dalam menjalankan ibadah kepada Allah Ta’ala. Tidak cukup hanya beramal, akan tetapi antara sesama umat muslim saling berlomba-lomba dalam kebajikan dan amal sholeh,

وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. Al Maidah: 48)

Dan pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri (berbuat dosa) mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.” (QS. Ali Imran: 133-135)

Walau syari’at Al Qur’an menganjurkan umatnya untuk berlomba-lomba dalam mengamalkan kebajikan dan amal sholeh, akan tetapi syari’at Al Qur’an tidaklah melupakan berbagai keadaan yang sedang dan akan dialami oleh masing-masing manusia. Setiap orang pasti melalui berbagai fase dari pertumbuhan fisik, biologis, mental dan berbagai perubahan dan keadaan yang meliputinya. Oleh karena itu syari’at Al Qur’an senantiasa mengingatkan umatnya agar dalam beramal senantiasa memperhatikan berbagai faktor tersebut, sehingga tidak terjadi berbagai ketimpangan dalam kehidupan mereka, baik pada saat beramal atau pada masa yang akan datang. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak haditsnya telah menjelaskan dengan gamblang metode beramal semacam ini, diantaranya pada sabda Beliau,

عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان عندي امرأة من بني أسد، فدخل علي رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال: من هذه؟ قلت: فلانة لا تنام بالليل. تذكر من صلاتها. فقال: مه، عليكم ما تطيقون من الأعمال، فإن الله لا يمل حتى تملوا وكان أحب الدين إليه ما داوم عليه صاحبه

”Dari sahabat ‘Aisyah radhiallohu ‘anha, ia menuturkan, ‘Pada suatu hari ada seorang wanita dari Bani Asad sedang berada di rumahku, kemudian Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumahku, lalu beliau bertanya, Siapakah ini? Akupun menjawab, Fulanah, wanita yang tidak tidur malam. ‘Aisyah menyebutkan perihal sholat malam wanita tersebut. Maka Rasulullah bersabda, Tahanlah. Hendaknya kalian mengerjakan amalan yang kalian mampu (untuk melakukannya terus-menerus/istiqomah-pent) karena sesungguhnya Allah tidaklah pernah bosan, walaupun kalian telah bosan. Dan amalan (agama) yang paling dicintai oleh Allah ialah amalan yang dilakukan dengan terus-menerus (istiqomah) oleh pelakunya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Demikianlah Syari’at Al Qur’an mengajarkan umatnya dalam beramal, tidak malas dan tidak memaksakan diri sehingga mengerjakan suatu amalan yang tidak mungkin untuk ia lakukan dengan terus-menerus (istiqomah). Dan kisah berikut adalah kisah nyata akan hal ini:

Pada suatu hari Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash rodhiallahu ‘anhu berkata, “Seumur hidupku, aku akan sholat malam terus menerus dan senantiasa berpuasa di siang hari.” Tatkala Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dilapori tentang ucapan sahabat ini, beliau memanggilnya dan menanyakan perihal ucapannya tersebut. Tatkala Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash mengakui ucapannya tersebut, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, Engkau tidak akan kuat melakukannya, maka berpuasalah dan juga berbukalah (tidak berpuasa). Tidur dan bangunlah (sholat malam). Dan berpuasalah tiga hari setiap bulan, karena setiap kebaikan akan dilipatgandakan supuluh kalinya, dan yang demikian itu sama dengan puasa sepanjang tahun.” Mendengar yang demikian, Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash berkata, “Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu” Beliau menjawab, “Puasalah sehari dan berbukalah dua hari.” Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash kembali berkata, “Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu.” Beliau menjawab, “Puasalah sehari dan berbukalah sehari, dan itulah puasa Nabi Dawud ‘alaihissalaam dan itulah puasa yang paling adil.” Mendengar yang demikian, Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash berkata, “Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu.” Beliau menjawab, “Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu.” Kemudian semasa tuanya Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash menyesali sikapnya tersebut dan beliau berkata, “Sungguh seandainya aku menerima tawaran puasa tiga hari setiap bulan yang disabdakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, lebih aku sukai dibanding keluarga dan harta bendaku.” (Kisah ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu sebagian ulama’ menjelaskan bahwa metode yang benar dalam beramal agar dapat istiqomah sepanjang masa dan dalam segala keadaan:

اعمل وأنت مشفق ودع العمل وأنت تحبه

“Beramallah sedangkan engkau dalam keadaan khawatir, dan beristirahatlah dari beramal dikala engkau masih menyukai amalan tersebut (bersemangat untuk beramal).”

Sebagian lainnya berkata,

إن هذا الدين متين فأوغلوا فيه برفق، ولا تبغضوا إلى أنفسكم عبادة الله، فان المنبت لا بلغ بعدا ولا أبقى ظهرا، واعمل على عمل امرىء يظن أن لا يموت إلا هرما، واحذر حذر امرىء يحسب أنه يموت غدا.

“Sesungguhnya agama ini adalah kokoh, maka masukklah ke dalamnya dengan cara-cara yang lembut, dan janganlah sekali-kali engkau menjadikan amal ibadah kepada Allah dibenci oleh jiwamu, karena sesungguhnya orang yang memaksakan kendaraannya, tidaklah dapat mencapai tujuan dan juga tidaklah menyisakan tunggangannya. Beramallah bagaikan amalan orang yang yakin bahwa ia tidak akan mati kecuali dalam keadaan pikun (tua renta) dan waspadalah sebagaimana kewaspadaan orang yang yakin akan mati esok hari.” (Az Zuhdu oleh Ibnu Mubarak 469).

-bersambung insya Allah-

courtesy of www.muslim.or.id

Sepercik Cahaya Keindahan Islam: Penegakkan Keadilan (3)
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri

3. Penegakkan Keadilan

Keadilan dalam syari’at Al Qur’an memiliki penafsiran yang amat luas, sehingga mencakup seluruh makhluk, bahkan mencakup keadilan kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu, karena keadilan dalam syari’at Al Qur’an adalah menunaikan setiap hak kepada pemiliknya, dan bukan berarti persamaan hak.

Untuk membuktikan apa yang saya utarakan ini, saya mengajar pembaca untuk merenungkan kisah berikut,

عن عون بن أبي جحيفة عن أبيه قال: آخى النبي صلى الله عليه و سلم بين سلمان وأبي الدرداء، فزار سلمان أبا الدرداء، فرأى أم الدرداء متبذلة، فقال لها: ما شأنك؟ قالت: أخوك أبو الدرداء ليس له حاجة في الدنيا، فجاء أبو الدرداء فصنع له طعاما، فقال: كل. قال: فإني صائم. قال: ما أنا بآكل حتى تأكل. قال: فأكل، فلما كان الليل، ذهب أبو الدرداء يقوم، قال: نم، فنام، ثم ذهب يقوم، فقال: نم، فلما كان من آخر الليل، قال سلمان: قم الآن فصليا، فقال له سلمان: إن لربك عليك حقا ولنفسك عليك حقا ولأهلك عليك حقا، فأعط كل ذي حق حقه. فأتى النبي صلى الله عليه و سلم، فذكر ذلك له، فقال النبي صلى الله عليه و سلم: صدق سلمان

“Diriwayatkan dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya, ia mengkisahkan, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjalinkan tali persaudaraan antara sahabat Salman (Al Farisy) dengan sahabat Abud Darda’, maka pada suatu hari sahabat Salman mengunjungi sahabat Abu Darda’, kemudian ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’ dalam keadaan tidak rapi, maka ia (sahabat Salman) bertanya kepadanya, Apa yang terjadi pada dirimu? Ummu Darda’-pun menjawab, Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak butuh lagi kepada (wanita yang ada di) dunia. Maka tatkala Abud Darda’ datang, iapun langsung membuatkan untuknya (sahabat Salman) makanan, kemudian sahabat Salmanpun berkata, Makanlah (wahai Abu Darda’) Maka Abud Darda’ pun menjawab, Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Mendengar jawabannya sahabat Salman berkata, Aku tidak akan makan, hingga engkau makan, maka Abud Darda’ pun akhirnya makan. Dan tatkala malam telah tiba, Abu Darda’ bangun (hendak shalat malam, melihat yang demikian, sahabat Salman) berkata kepadanya, Tidurlah, maka iapun tidur kembali, kemudian ia kembali bangun, dan sahabat Salman pun kembali berkata kepadanya, Tidurlah. Dan ketika malam telah hampir berakhir, sahabat Salman berkata, Nah, sekarang bangun, dan shalat (tahajjud). Kemudian Salman menyampaikan alasannya dengan berkata, Sesungguhnya Tuhan-mu memiliki hak atasmu, dan dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu juga memiliki hak atasmu, maka hendaknya engkau tunaikan setiap hak kepada pemiliknya. Kemudian sahabat Abud Darda’ datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dan ia menyampaikan kejadian tersebut kepadanya, dan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjawabnya dengan bersabda, Salman telah benar.” (HR. Bukhari)

Dikarenakan keadilan dalam syari’at Al Qur’an mencakup keadilan kepada Allah Ta’ala, mencakup keadilan kepada Allah Ta’ala, maka tidak heran bila Allah Ta’ala menyatakan bahwa perbuatan syirik adalah tindak kelaliman terbesar:,

وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah: 254)

Dan pada ayat lain Allah berfirman,

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)

Bila ada yang bertanya apa hak-hak Allah, sehingga kita dapat menunaikan hak-Nya dan tidak mendzolimi-Nya?

Maka jawabannya dapat dipahami dari ayat 13 surat Luqman di atas, dan juga lebih tegas lagi disabdakan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam pada kisah berikut,

عن معاذ بن جبل قال: كنت رديف النَّبيِّ صلى الله عليه و سلم على حمارٍ فقال لي: يا معاذ، أتدري ما حق الله على العباد، وحقُّ العباد على الله؟ قلت: الله ورسوله أعلم، قال: حقُّ الله على العباد أنْ يعبدوه ولا يشركوا به شيئاً، وحقُّ العباد على الله أَنْ لا يعذِّبَ من لا يُشرك به شيئاً، قلت: يا رسول الله، أفلا أبشِّر النَّاس؟ قال: لا تبشِّرهم فيتَّكلوا

Muadz bin Jabal menuturkan, “Aku pernah dibonceng Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam mengendarai keledai, lalu beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai Muadz, tahukah kamu, apa hak Allah atas hamba-Nya, dan apa hak hamba atas Allah?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliaupun bersabda, ‘Hak Allah atas hamba yaitu: supaya mereka beribadah kepada-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan hak hamba atas Allah yaitu: Allah tidak akan mengazab orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.’ Lalu aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, bolehkah aku sampaikan kabar gembira ini kepada para manusia?’ Beliau menjawab, ‘Jangan kamu sampaikan kabar gembira ini, nanti mereka akan bertawakal saja (dan enggan untuk beramal).” (Muttafaqun ‘alaih)

Keadilan jenis inilah yang pertama kali harus ditegakkan dan diperjuangkan. Oleh karena itu tatkala Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bernegoisasi dengan salah satu delegasi orang-orang Quraisy, yang bernama ‘Utbah bin Rabi’ah pada perjanjian Hudaibiyyah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tidaklah menyeru mereka untuk meninggalkan kelaliman dalam harta benda, jabatan, atau yang lainnya. Beliau hanya menyeru agar orang-orang Quraisy meninggalkan kelaliman terhadap Allah Ta’ala. Sehingga tatkala beliau ditawari oleh ‘Utbah bin Rabi’ah untuk menjadi raja atau diberi harta benda dengan syarat membiarkan orang-orang Quraisy menyembah berhala mereka, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menolak tawaran tersebut. Marilah kita simak kisah negoisasi tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh ulama’ ahli sirah,

“Utbah bin Rabi’ah berkata kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, Wahai keponakanku, bila yang engkau hendaki dari apa yang engkau lakukan ini adalah karena ingin harta benda, maka akan kami kumpulkan untukmu seluruh harta orang-orang Quraisy, sehingga engkau menjadi orang paling kaya dari kami, dan bila yang engkau hendaki ialah kedudukan, maka akan kami jadikan engkau sebagai pemimpin kami, hingga kami tidak akan pernah memutuskan suatu hal melainkan atas perintahmu, dan bila engkau menghendaki menjadi raja, maka akan kami jadikan engkau sebagai raja kami, dan bila yang menimpamu adalah penyakit (kesurupan jin) dan engkau tidak mampu untuk mengusirnya, maka akan kami carikan seorang dukun, dan akan kami gunakan seluruh harta kami untuk membiayainya hingga engkau sembuh.”

Mendengar tawaran yang demikian ini, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam tidak lantas menerima salah satu tawarannya berupa menjadi raja/pemimpin atau diberi kedudukan, sehingga segala Quraisy tidaklah akan memutuskan sesuatu hal melainkan atas persetujuan beliau shollallahu ‘alaihi wasallam. Nabi tetap meneruskan perjuangannya memerangi kelaliman terbesar, yaitu peribadatan kepada selain Allah. Oleh karena itu Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab tawaran orang ini dengan membacakan 13 ayat pertama dari surat Fushshilat,

حم. تَنزِيلٌ مِّنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِّقَوْمٍ يَعْلَمُونَ بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ. وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِّمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ وَفِي آذَانِنَا وَقْرٌ وَمِن بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ إِنَّنَا عَامِلُونَ. قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِينَ. الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُم بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ. إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ. قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ. ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ. فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاء أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاء الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ. فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِّثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ

“Haa Miim. Diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata, “Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan di antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungghnya kami bekerja (pula).” Katakanlah, “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.” Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya (Yang bersifat) demikian itulah Rabb semesta alam.” Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuninya) dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati”. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua hari dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Jika mereka berpaling maka katakanlah, “Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Aad dan kaum Tsamud.” (QS. Fusshilat: 1-13)

Setelah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam sampai pada ayat ke 13 ini, Utbah bin Rabi’ah berkata kepada Beliau,

فقال عتبة : حسبك، ما عندك غير هذا ؟ قال : لا

“Cukup sampai disini, apakah engkau memiliki sesuatu (misi/tujuan) selain ini? Beliau shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Tidak’.” Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Ibnu Hisyam 2/131, Dan Dalail An Nubuwah oleh Al Asbahani 1/194, dan kisah ini dihasankan oleh Syeikh Al Albani dalam Fiqhus Sirah.

Demikianlah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memulai perjuangannya menegakkan keadailan, yaitu dimulai dengan menegakkan keadilan kepada Allah Ta’ala. Bila keadilan ini telah tegak, barulah keadilan lainnya ditegakkan, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabat yang beliau utus untuk menyeru masyarakat kala itu kepada keadilan Islam,

عن ابن عباس  أَنَّ رسول الله صلى الله عليه و سلم لمَّا بعث معاذاً إلى اليمن قال له: إِنَّك تأتي قوماً من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادةُ أن لا إله إلا الله –وفي رواية: إلى أَنْ يوحِّدوا الله- فإِنْ هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أَنَّ الله افترض عليهم خمس صلوات في كلِّ يوم وليلة، فإِنْ هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أَنَّ الله افترض عليهم صدقةً تُؤْخَذُ من أغنيائهم فتُرَدُّ على فقرائهم، فإِنْ هم أطاعوك لذلك، فإيَّاك وكرائم أموالهم، واتَّق دعوة المظلوم، فإِنَّه ليس بينها وبين الله حجاب

“Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas rodhiallahu ‘anhu bahwasannya ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda kepadanya, ‘Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari ahli kitab, maka hendaknya pertama kali yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah mengucapkan syahadat (la ilaha illallah) -dan menurut riwayat yang lain: mentauhidkan (mengesakan) Allah-, Dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat, yang diambil dari orang-orang kaya dari mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin dari mereka. Dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka jauhilah olehmu mengambil yang terbaik dari harta mereka (sebagai zakat). Dan takutlah tehadap do’a orang yang dizolimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antaranya dan Allah (untuk di kabulkan do’anya).’” (Muttafaqun ‘alaih)

Dan bila keadilan terbesar ini telah ditegakkan oleh suatu masyarakat, maka Allah Ta’ala akan melimpahkan keadilan selainnya kepada mereka, sebagai buktinya mari kita simak firman Allah Ta’ala berikut,

وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلاَ تَخَافُونَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُم بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ أَحَقُّ بِالأَمْنِ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ. الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

“Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah diantara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui. Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al An’aam: 81-82)

Dan mari kita simak pendidikan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam kepada saudara sepupunya Abdullah bin ‘Abbas rodhiallahu ‘anhu,

احفظ الله يحفظك احفظ الله تجده تجاهك

“Jagalah (syari’at) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (syari’at) Allah, niscaya engkau akan dapatkan (pertolongan/perlindungan) Allah senantiasa di hadapanmu.” (HR. At Tirmizi dan dishahihkan oleh Al Albani)

Adapun metode penegakan keadilan sesama manusia, maka syari’at Al Qur’an telah memberikan gambaran indah dan sempurna sehingga tiada duanya. Diantara salah satu buktinya, simaklah firman Allah berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلّهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقَيرًا فَاللّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُواْ الْهَوَى أَن تَعْدِلُواْ وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرً

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An Nisa’: 135)

Demikianlah syari’at Al Qur’an dalam menegakkan keadilan. Dan sekarang mari kita bersama-sama merenungkan salah satu kisah nyata penegakan keadilan dalam Islam berikut ini,

عن عائشة رضي الله عنها أن قريشاً أهمَّهم شأن المرأة المخزومية التي سرقت، فقالوا: من يكلم فيها رسول الله صلى الله عليه و سلم، فقالوا: ومن يجترئ عليه إلا أسامة حب رسول الله صلى الله عليه و سلم، فكلمه أسامة فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم أتشفع في حد من حدود الله؟! ثُمَّ قام فاختطب، فقال: أيها النَّاس إنما أهلك الذين قبلكم أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه وإذا سرق فيهم الضعيف أقاموا عليه الحد. وأيم الله لو أن فاطمة بنت محمد سرقت، لقطعت يدها

“Dari sahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasannya kaum Quraisy dibingungkan oleh urusan seorang wanita dari Kabilah Makhzum yang kedapatan mencuri, maka mereka berkata: Siapakah yang berani memohonkan keringanan untuknya kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam? Maka Mereka berkata: Siapakah yang berani melakukannya selain Usamah orang kesayangan Rasululah shollallahu ‘alaihi wasallamlantas Usamah pun memohonkan keringanan untuknya. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Apakah engkau akan memohonkan keringanan pada salah satu hukum had/pidana (ketentuan) Allah? Kemudian beliau berdiri berkhutbah, lalu bersabda, Wahai para manusia,! Sesungguhnya yang menyebabkan orang-orang sebelum kalian adalah bila ada dari orang yang terhormat (bangsawan) dari mereka mencuri maka mereka biarkan (lepaskan) dan bila orang lemah dari mereka mencuri, maka mereka tegakkan atasnya hukum had. Dan sungguh demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan potong tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Semakna dengan kisah ini apa yang disampaikan oleh Khalifah Abu Bakar rodhiallahu ‘anhu pertama kali beliau dibai’at menjadi khalifah, beliau berkata,

ألا وان القوي عندي ضعيف حتى آخذ منه الحق والضعيف عندي قوي حتى آخذ له الحق. رواه البيهقي

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang yang kuat di sisiku adalah orang yang lemah sampai aku ambil darinya hak (orang lain yang ia rampas) dan orang yang lemah disisiku adalah orang yang kuat hingga aku ambilkan untuknya haknya.” (HR. Al Baihaqi)

Dan contoh lain yang serupa dengan ini ialah kisah yang terjadi pada sahabat Abdullah bin Rawahah rodhiallahu ‘anhu. Tatkala orang-orang Yahudi Khaibar hendak menyuapnya agar mengurangi kewajiban upeti yang harus mereka bayarkan kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam maka ia menjawab permintaan mereka ini dengan ucapannya,
“Wahai musuh-musuh Allah, apakah kalian akan memberiku harta yang haram?! Sungguh demi Allah, aku adalah utusan orang yang paling aku cintai (yaitu Rasulullah), dan kalian adalah orang-orang yang lebih aku benci dibanding kera dan babi. Akan tetapi kebencianku kepada kalian dan kecintaanku kepadanya (Rasulullah), tidaklah menyebabkan aku bersikap tidak adil atas kalian. Mendengar jawaban tegas ini, mereka berkata: Hanya dengan cara inilah langit dan bumi menjadi makmur.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Baihaqi)

Bukan hanya sampai di sini syari’at Al Qur’an menegakkan hak dan keadailan, bahkan keadilan dan kebenaran dalam syari’at Al Qur’an tidak dapat dibatasi dengan peradilan manusia atau tingginya tembok pengadilan atau penjara. Keadilan dan hak seseorang dalam Islam tidak akan dapat dirubah dan digugurkan, walau pengadilan di seluruh dunia telah memutuskan untuk menguburnya atau menentangnya. Sebagai salah satu buktinya, mari kita simak bersama kisah berikut,

عن أم سلمة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: إنما أنا بشر وإنكم تختصمون إلي، ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض، وأقضي له على نحوٍ مما أسمع، فمن قضيت له من حق أخيه شيئا فلا يأخذ، فإنما أقطع له قطعة من النار

“Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallambeliau bersabda, “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa, dan kalian mengangkat perselisihan kalian kepadaku, dan mungkin saja sebagian dari kalian lebih pandai menyampaikan alasannya daripada yang lain (lawannya), kemudian aku memutuskan untuknya (memenangkan tuntutannya) berdasarkan alasan-alasan yang aku dengar, maka barang siapa yang aku putuskan untuknya dengan sebagian hak saudaranya, maka janganlah ia ambil, karena sesungguhnya aku telah memotongkan untuknya sebongkahan api neraka.” (Muttafaqun ‘alaih)

Demikianlah syari’at Al Qur’an menegakkan keadilan, dan demikianlah menurut syari’at Al Qur’an suatu keadilan tidak dapat dirubah walaupun pengadilan dunia dengan berbagai birokrasinya telah merubahnya. Dan apa yang disampaikan di sini hanyalah sepercik dari lautan keadilan menurut syari’at Al Qur’an.

-bersambung insya Allah-

courtesy of www.muslim.or.id





Tidak ada komentar: